Sikap Egois Dalam Diri Anak Adam
Oleh Zakir Hubulo
Disadari
atau tidak, bahwa egoisme manusia sangatlah terkait dengan keimanannya.
Egoisme atau kecintaan manusia terhadap dirinya, tidak jarang dapat
menguasai kepribadian seseorang. Bahkan mungkin sering kita lihat dalam
kehidupan, betapa manusia asyik berjuang memenangkan ego masing-masing.
Egoisme
dipastikan akan memunculkan persaingan yang pada gilirannya akan
memunculkan saling berselisih antara satu dengan lainnya di dalam
memenuhi kepentingan yang menjadi ego masing-masing. Bahkan tidak
jarang, dalam upaya persaingan dalam memenuhi ego memanfaatkan sebagian
orang dengan menghalalkan segala macam cara, baik dalam bentuk kolusi,
korupsi, nepotisme, pencurian, perampokan, dan lain sebagainya.
Sudah
sejak awal Allah SWT memperingatkan kepada kita apa yang telah terjadi
pada manusia pertama, Adam. Kisah Adam dan Hawa, mengantarkan kita ke
dalam keyakinan bahwa tidak mungkin kita meragukan keimanan Adam dan
Hawa. Bagaimana mungkin kita bisa meragukan keimanan keduanya, karena
mereka berdua langsung berjumpa dan berdialog dengan Allah.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, kenapa keimanan Adam dan Hawa harus gugur dengan
mengikuti godaan Iblis untuk melanggar satu aturan Allah, yaitu memakan
buah Khuldi. Bila saja kita simak secara seksama, ternyata kalahnya
keimanan Adam dan Hawa ini setelah Iblis berhasil mengetahui titik lemah
manusia yang lalu Iblis bisikkan pikiran jahatnya dengan menyatakan,
"Hai Adam, maukah kamu saya tunjukkan sebuah pohon Khuldi dan kerajaan
yang tidak akan binasa" (Thaahaa, 20 : 120).
Pada
satu sisi Allah mengingatkan kepada Adam dan Hawa, sekaligus menekankan
bahwa keduanya dilarang memakan buah tersebut, bahkan jangankan untuk
memakannya, mendekatinya pun dilarang. Allah SWT berfirman: “Janganlah
kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim’ (Al
Baqarah, 2:35).
Sementara
Iblis menyatakan, maukah kamu aku “tunjukkan” sebuah pohon. Pohon yang
hakikatnya Allah SWT nyatakan kepada Adam dan Hawa agar mereka berdua
tidak mendekatinya, apalagi memakan buahnya.
Ini
yang sebenarnya harus menjadi “Tazkirah” (peringatan), di satu sisi
Allah melarang, tapi di sisi yang lain Iblis malah berusaha
“menunjukkan” pohon itu. Masalahnya kemudian mengapa keimanan Adam dan
Hawa tiba-tiba menjadi lemah untuk kemudian keduanya melanggar aturan
Allah dengan memakan buah terlarang tersebut?
Di
sinilah titik lemah manusia yang kemudian diketahui Iblis, di mana
Iblis menyatakan, maukah saya tunjukkan kamu sebuah pohon yang kalau
kamu makan buahnya maka kamu akan mendapatkan "dua" perkara. Yang
pertama, “Khuld”(kekal). Yang kedua, mendapatkan kerajaan atau kekayaan
yang berlimpah ruah.
Dengan
kata lain Iblis berusaha memperdaya Adam dan Hawa dengan meyakinkan
mereka berdua, bahwasanya Allah melarang memakan buah itu tidak lain
karena Allah takut tersaingi, jika karena kalian memakan buah tersebut
maka kalian akan sama-sama kekal dan sama akan punya kekuasaan. Dua hal
inilah, yakni mengharapkan “Kekekalan” kekuasaan dan harta yang
berlimpah ruah yang telah mengantarkan runtuhnya keimanan Adam dan Hawa,
keimanan dua insan yang langsung berjumpa dan berdialog dengan Allah
SWT.
Satu
pelajaran yang luar biasa sangat berharga bagi kita anak cucu Adam,
bahwa kalau kita lihat keberhasilan Iblis menyesatkan manusia terbanyak
dari dua sisi ini. Yakni dari sisi kekuasaan dan ingin hidup kekal lalu
berusaha untuk bisa melanggengkan kekuasaan dan lain sebagainya. Kekal
tidak hanya dari segi umur, tetapi dari sisi jabatan, kedudukan, dan
lain sebagainya. Dari sisi inilah peluang Iblis untuk menggoda dan
menyesatkan manusia.
Allah
SWT mengingatkan, hanya keimananlah sebenarnya yang bisa mengendalikan
kecenderungan tersebut. Dalam Islam seseorang tidak diperintahkan untuk
mematikan kecenderungan hawa nafsunya sepanjang dalam memenuhinya masih
dalam aturan yang benar menurut Allah SWT.
Tidak
salah kalau seseorang ingin kaya, punya ambisi kedudukan, jabatan dan
lain-lain sepanjang bisa ditempuh dengan jalan yang diridhai-Nya. Yang
tidak dimungkinkan dalam Islam adalah, bila dalam memenuhi keinginannya
ia tempuh dengan menghalalkan segala macam cara dengan melanggar aturan
dan hukum-Nya.
Ada
sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ummu Salmah, istri Rasulullah SAW,
tentang bagaimana keimanan itu bisa mengendalikan ego seseorang.
Dikisahkan ada dua orang laki-laki, mereka bertengkar memperebutkan
harta waris, masing-masing tidak memiliki bukti kepemilikan harta yang
diperebutkan itu. Lantas keduanya menghadap Rasulullah SAW untuk meminta
keputusan Beliau.
Rasulullah
SAW kepada mereka berdua menyatakan: Saya ini hanyalah seorang manusia,
sementara kalian mencoba meminta penyelesaian proses hukum ini kepada
saya, padahal boleh jadi seseorang di antara kalian akan mampu dengan
dalil-dalil dan pendekatannya meyakinkan kepada saya bahwa dialah yang
paling benar, sehingga saya bisa memutuskan bahwa itu milik dia, padahal
itu belum tentu benar. Kalau itu yang terjadi maka berarti saya telah
memberikan kepada dia peluang untuk menyiapkan bara api neraka jahnnam
sepenuh perut dia. "Mereka yang memakan harta anak yatim dengan cara
yang zalim maka sama dengan dia telah menyiapkan bara api sepenuh
perutnya" (An Nissa’, 4 : 10).
Mendengar
pernyataan Rasulullah SAW ini, maka kedua laki-laki tadi kemudian
masing-masing mengatakan kepada yang lain, kalau memang itu adalah hak
saya, maka saya ikhlas untukmu, silakan ambil. Yang satu seperti itu
yang lain pun demikian. Akhirnya mereka sama-sama tidak mau mengambil
haknya. (HR. Sunan Abu Daud).
Seperti
inilah jika keimanan yang menjadi pijakan hidup seseorang. Ada kisah
lain yang serupa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah
mengisahkan kepada para sahabat tentang dua orang mu’min yang satu
menjual tanah kepada yang lain. Usai proses pembelian, si pembeli
kembali lagi dengan membawa satu kotak peti berisi emas dengan
mengatakan; Setelah saya membeli tanah kebetulan saya menggali tanah itu
kutemukan satu kotak peti berisi Emas. Karena saya hanya membeli dan
membayar harga tanah, berarti tidak termasuk emas yang ada di dalam peti
ini. Maka dari itu saya kembalikan kotak peti berisi emas ini.
Si
penjual tanah tidak mau menerima dengan mengatakan, saya sudah menjual
tanah dengan segala yang ada di dalamnya. Akhirnya, keduanya sepakat
untuk menemui seseorang untuk meminta keputusan. Maka berkatalah orang
yang dipercayakan oleh kedua orang itu, adakah kalian berdua punya anak ?
Yang satu menyatakan, saya punya anak laki-laki. Yang satunya lagi,
saya punya anak perem-puan. Lebih lanjut, seseorang yang dipercaya itu
mengatakan, kalau begitu nikahkan saja anak kalian berdua dan emas itu
untuk modal anak kalian berdua. Maka barulah keduanya sepakat.
Alangkah
luar biasa dampak keimanan dalam mengendalikan egoisme manusia. Dan
alangkah indahnya hidup dan kehidupan ini jika masing-masing manusia
memiliki keimanan yang kuat sehingga dia mampu mengendalikan
kecenderungan “ego” yang ada dalam dirinya sekaligus mementahkan bisikan
Iblis yang menyesatkan. Wallahu a’lam bish-shawab
sumber: www.mayaspib.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar