Berlayar di Lautan Ikhlash
Aku mempercepat langkah kakiku. Sedangkan
tanganku harus tetap menahan ransel agar tidak terasa berat. Sinar mentari semakin terang
dan panas. Peluhku mulai
menetes. Bagaimana tidak?? Sekarang
ini sudah jam 8 pagi, sedangkan aku masih dalam perjalanan menuju sekolah. Padahal, jarak rumahku antara
sekolah tidak terlalu jauh. Aku kesiangan pagi ini. Sarapan belum, PR Matematika
belum dikerjakan, rambutku belum ku sisir, belum pakai parfum,belum pakai
sepatu jadi pake sandal jepit biar cepet, pokoknya hari ini benar-benar
berantakan. Di
perjalanan itu, sebuah mobil lewat, itu mobil temanku, Adel. Dia memang orang yang cukup
berada.
“Sintia!”
sapa Adel dari kejauhan.
“Hei
Del!!” balas ku sambil melambaikan tangan.
Tiba-tiba
mobilnya berhenti dan Adel mempersilakan aku ikut mobilnya. uhhhh, benar-benar
rejeki nomplok. Di dalam
mobil Adel, aku sibuk mengerjakan apa yang belum aku kerjakan seperti,
menyisisr rambut, memakai parfum, dan memakai sepatu. bagaimana dengan nasib PR
Matematika?? itu gampang! aku tinggal menyalin PR yang sudah dikerjakan Adel.
Adel memang sahabat paling setia. Saat
aku sedang butuh, dia pasti ada. Dan
yang paling asyik lagi, Adel selalu menjahili teman-teman dikelas sehingga aku
dapat tertawa terbahak-bahak di situasi apapun.
aku juga mempunyai sahabat yang tak kalah setianya, yaitu Raffi. Raffi adalah
sahabat yang bisa aku andalkan ketika lupa membawa uang jajan atau uang jajanku
sedang sekarat. mereka benar-benar sahabat yang super baik.
Perjalanan
kesekolah sudah selesai saatnya masuk ke kelas. tapi, saat aku masuk ke kelas,
semua teman-teman duduk dengan rapi, tanpa suara. Lalu aku segera duduk. Tiba-tiba Adel bertanya padaku.
“Lohh???
mana Raffi ya???” tanyanya.
“Oh
iya, aku nggak tau tuh! sakit kali”. jawabku enteng
“Tapi, anehnya, kok semua pada
diem?? biasanya kan, kayak monyet lepas! Kesambar petir kali ya!” ucap Adel.
Aku tertawa
mendengar ucapan Adel. Lalu,
Adel bertanya kepada Dika.
“Dika,
ini kenapa sih pada diem?? Lomba ya??” Tanya Adel.
Bola
mata Dika melirik ke Ibu Nia yang dari tadi melihat tingkah laku aku dan Adel.
Adel pun melihat sebuah buku di atas meja masing-masing yang membuka halaman yang sama.
“Busseettt!!
Kingkong ngeliatin kita coyy!! nih, semua lagi padabaca buku!!” bisik Adel panik.
“Del,
maksud kamu nanya ke Dika tentang lomba, itu lomba apa??” tanyaku.
“Oh,
itu lomba siswa paling diem. hehehe....” jawab Adel.
Memang
Adel ini orangnya kurang sopan. Omongannya
ceplas-ceplos. Tapi, sifat
inilah yang selalu membuat aku dan Adel
ceria. Tak lama
kemudian, SMS masuk ke ponsel Adel.
“Sintia!!
nih ada SMS dari Raffi” ucap Adel dengan nada yang sangat senang. Adel memang
menyukai sikap Raffi yang pendiam dan cerdas itu.
“Oh,,
cepetan buka! apa isinya??” ucap ku tak sabar,
“Isinya
adalah ‘Raffi nggak bisa sekolah hari ini gara-gara....” ucap Adel.
“Lohh
del? kok berhenti bacanya??” ucap ku kaget karena Adel berhenti membaca SMS
itu.
“Chila,
Adik Raffi yang terakhir meninggal karena pernapasannya tersumbat”. lanjut
Adel.
Aku terdiam
mendengar ucapan Adel. Adel pun ikut terdiam. apa yang harus kami lakukan??
tanpa sengaja, ponsel itu jatuh ke lantai. Bu Nia yang dari tadi diam angkat
bicara.
“Heyy!!
kalian berdua ini ya, sudah datang
terlambat, orang baca kalian main ponsel!” bentak Bu Nia kasar.
“Ini
bu, Anu Bu, e.... Raffi nggak sekolah bu. Adiknya meninggal bu” jawab Adel yang
tiba-tiba tergagap. Suasana
kelas menjadi gaduh. Semua
pertanyaan terfokus pada kami. Tapi, kami tetap memilih diam.
Tiga hari kemudian, Raffi
kembali masuk ke sekolah. Wajahnya masih terlihat sedih. Ketika Raffi mulai
memasukki kelas, kami memilih diam. Tak mau mengungkit kepedihannya lagi.
Keesokan harinya, Raffi tetap diam. Begitu juga kami.
Keesokan harinya, Raffi tetap diam. Begitu juga kami.
“Raffi!” sapa Adel.
Aku terpenganga dengan sapaan Adel. Berani sekali dia. Raffi diam untuk
melupakan kepedihannya.
“Adel, Raffi itu jangan diajak ngomong dulu” bisik ku.
“Udah gakpapa kok Sintia. Kamu mau ngomong apa Del?” suara Raffi mulai
terdengar. Walaupun nadanya sangat lemas, kami sudah sangat senang mendengar
Raffi bicara kembali. Hari-hari lainnya akhirnya bisa di hadapi Raffi dengan
sempurna. Raffi menjadi aktif kembali.
Beberapa bulan kemudian, berita itu datang kembali.Hari
Minggu itu adalah hari dimana berbagai acara dilangsungkan. Ya, keluarga Raffi
mengadakan acara pernikahan. Semua keluarga Raffi pergi ke sana, kecuali Raffi
dan bibinya. Ketika semua pergi, Raffi yang masih diselimuti kepedihan itu
duduk di tepi sungai sambil melamun memandangi riak air sungai. Lamunan itu
membawanya hanyut. Byyuurr!!. Raffi terjatuh ke air. Raffi tidak bisa berenang
dan akhirnya hanyut di sungai. Bibinya yang sejak tadi di rumah akhirnya
teringat dengan Raffi. Ia memanggil dan mencari Raffi tapi tidak ditemukan.
Saat bibinya mencari Raffi, orang tua dan saudara Raffi pulang.
“Ada apa ?” tanya ibu Raffi.
“Ada apa ?” tanya ibu Raffi.
“Rrr r affi hi llang!” jawab bibinya tergagap.
“Apa ?? kamu nggak jagain dia? Hah??” sentak Ibu Raffi kaget.
Ibu Raffi langsung pergi ke rumah seorang ustadz yang
diharapkan bisa memberitahu dimana Raffi. Semua keluarga tersentak saat ustadz
itu mengatakan “Dia tenggelam dan terhanyut di sungai. Cari saja, dia ada
disini” ucap ustadz itu sambil menunjuk ke arah sungai. Semua keluarga
menangis. Ibu dan keluarga Raffi mulai menyelami sungai itu. Semua lelah karena
sampai senja pun Raffi belum ditemukan. Tapi, Ibu Raffi tidak menyerah. Ia
kembali meyelami sungai itu dan menemukan Raffi yang sudah terselimut lumpur.
Ibu Raffi segera mengangkat tubuh Raffi yang sudah terbujur kaku. Di saat itu,
ayah Raffi yang baru pulang bekerja melihat anak laki-laki nya sudah memucat
dan terselimut lumpur.
“Raffi! Anakku! Bangun nak!” ucap ayah Raffi.
“Kenapa Raffi bisa begini??” lanjut ayah Raffi yang berubah marah.
“Dia tenggelam disungai ayah” jawab Ica kakak Raffi.
“Apa?? Kenapa bisa begini? Kalian nggak jagain dia?”
“Kami tadi pergi ketempat Weni yang nikahan yah” ucap Ibu Raffi sambil
menangis.
“Kamu ini bagaimana? Raffi kamu tinggalkan sendirian?? Sudah dua anak meninggal
gara-gara kecerobohan kamu! Dua anak ini mau kamu habiskan juga?? Hah??” ucap
ayah Raffi sambil menunjuk kakak dan Adik Raffi, Ica dan Dina.
“Aku nggak tau kalo hasilnya akan begini. Kalo akan begini, aku nggak akan
ninggalin Raffi! Lagi pula ada bibinya” jawab ibu Raffi penuh amarah.
“Aku nggak mau tau! Ini semua gara-gara kamu! Bibi itu kerjanya didapur.
Mana dia tau tentang urusan anak kita!”
“Kok kamu malah nyalain aku sendiri! Kalo begini jadinya, aku minta
cerai!!” ucap Ibu Raffi tegas.
“Baik, kalo kamu mau cerai! Kita cerai!” jawab Ayah Raffi.
“SUDAH!! Sekarang ini kita seharusnya berdo’a agar Raffi bisa diterima di
sisi Tuhan! Buka bertengkar seperti ini! Kalian ini orang tuanya!” ucap paman
Raffi.
Semua tersentak. Ica hanya bisa menangis melihat orang
tuanya akan cerai. Dina yang baru berumur 6 tahun hanya bisa menatap Ica yang
menangis tersedu-sedu. Dina belum mengerti betul apa itu cerai. Akhirnya,
pertengkaran ini dapat dilerai.
Keesokan paginya, Aku tidak mengetahui berita buruk ini.
Mama ku merahasiakannya. Karena mama tau bahwa aku sangat dekat dengan Raffi.
Lalu, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada
berita buruk ini. Sepulang sekolah, aku dan mama pergi ke rumah Raffi. Aku
bingung. Ngapain ke rumah Raffi?? Ku lihat semua orang datang ke rumah Raffi.
Wahh! Pasti ada acara ni. Saat aku masuk kerumah Raffi, suasana sangat dingin.
Semua orang menagis. Hah? Ada yang meninggal lagi?? siapa???. Ku lihat
seseorang terbalut kain yang sangat bersih. Putih sekali, sangat bersih. Semua
orang duduk mengelilinginya. Ku lihat Adel yang sudah datang duluan.
“Adel, emang siapa sih yang meninggal??” tanyaku polos.
“Raffi, Sintia!” jawab Adel dengan tangisan.
Aku terdiam. Aku benar-benar tak percaya. Adel yang ceria
itu, kini penuh air mata. Dia menangis. Baru kali ini aku melihat Adel yang
ceria itu menangis. Tanpa ku sadari, air mataku menetes. Aku menangis.
“Adel, kamu bercanda kan??” tanyaku tak percaya.
“Buat apa aku bohong??” jawab Adel.
Ku tatap lagi seseorang yang terbujur kaku di balik kain
itu. Ini semua nggak mungkin terjadi. Sahabat yang telah menemaniku tiga tahun
itu pergi untuk selama-lamanya.
Sebulan kemudian, keluarga kecil itu pindah rumah. Aku
hanya tersenyum melihat kepergian mereka. Aku mengerti bagaimana perasaan
mereka. Mereka pindah untuk memulihkan kepedihan mereka yang telah kehilangan
dua anggota keluarganya.
Tak terasa, sudah 3 tahun lamanya keluarga kecil itu
pindah. Akhirnya, aku juga dapat melupakan bayangan sahabatku, Raffi karena aku
sangat tidak sabar menanti lebaran tahun ini. Aku berdo’a semoga hari
masak-masak ini cepat berakhir. Senangnya bisa membantu mamaku membuat kue
kering. Tiba-tiba ada telepon berdering.
“Kriinngg....kringgg!!”
Mamaku berjalan menuju telepon. Saat mamaku mengangkat
telepon, wajah mamaku langsung memucat. Aku sudah tau arti pertanda itu. Berita
buruk datang. Setelah mama menutup teleponnya, mama hanya diam saja dan
mengucap kalimat “Innalillahi wainnalillahiraji’un” ucap mama.
Aku tersentak. Siapa yang meninggal???
“Ma, siapa sih yang meninggal??” tanyaku.
“Keluarga Raffi, nak” jawab mama.
“hah?? Maksudnya, semuanya??”
“mama nggak tau pasti. Ya sudah mama pergi dulu ya.. tolong jagain kuenya”.
jawab mama pamit.
Aku hanya terdiam. Keluarga kecil itu meninggal?? Semuanya?? Ini
bener-bener bohong. Satu jam kemudian mama pulang.
“Ma, gimana??? Maksudnya apa?? Semuanya??” tanyaku tidak sabar.
“nggak sayang” jawab mama singkat.
“ma, ceritain sekarang ma!” pintaku tidak sabar.
Mama menghela napas dan mulai bercerita. “mereka
meninggal karena kecelakaan di jalan mayor zen, tepat di depan pabrik PUSRI.
Tabrakan ini melibatkan mobil dan motor. Mereka berempat,yaitu Ibu Raffi, Ayah
Raffi, Dina dan Ica. Dalam kecelakaan itu, Ayah Raffi meninggal ditempat
kejadian. Ibu Raffi meninggal dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Ica, kakak
Raffi, sempat masuk rumah sakit tetapi dalam keadaan koma lalu beberapa jam
kemudian, Ica meninggal. Dina adik Raffi, hanya luka ringan karena berada di
pelukan Ibunya”. ucap mama.
Aku terdiam. Tak tau apa yang dirasakan anak berumur 6
tahun itu. Ditinggal keluarga kecilnya. Keesokan harinya, aku meminta mama
untuk mengantarkan aku ke rumah Dina. Saat memesuki rumah itu, suasananya
dingin. Aku meminta izin kepada Bibi Dina agar diperbolehkan menemui Dina.
Akhirnya, permintaanku itu diizinkan Bibi Dina. Saat aku membuka pintu kamar
Dina. Aku melihat Dina menghadap ke jendela. Ia menangis. Aku memberanikan diri
untuk mnemuinya. Sikapnya dingin. Aku mengerti apa yang dirasakannya sekarang.
Lalu, aku mulai mengajaknya bicara.
“Dina, masih ingat kakak??” tanyaku sambil megingatkan diriku yang pernah
menjadi tetangganya.
“Dina inget kak!” jawabnya.
“Dina sabar ya. Ini cobaan buat Dina” ucapku sambil menahan tangis.
Anak berumur 6 tahun itu benar-benar terpukul.
“tapi, kak....” ucapnya perlahan.
“tapi apa din??”
“tapi mengapa Tuhan harus mengambil semua keluarga Dina?? Kenapa Dina nggak
ikut bersama mereka?? Apa Dina ini jelek???” aku hanya bisa menangis mendengar
omongan Dina itu.
“kak, kata tante Dina, mereka pergi sama Tuhan. Nanti juga pulag lagi. Tapi,
Dina kok nggak diajak sama Tuhan?? Dina
sedih kak. Kok Tuhan ngambil keluarga Dina aja ?? Dina rela kok, kalo Dina yang
diambil Tuhan sendirian tapi, keluarga Dina nggak ikut. Karena kalo Dina
diambil sendirian, Dina pasti kuat, kan ada Tuhan. Tapi, kalo dina yang ditinggalin
sendirian dan keluarga Dina pergi semua, Dina nggak mau kak. Kak, Dina kangen
Ibu, Ayah, kak Ica, Kak Raffi, dek Chila. Dina mau sama mereka. Kok Tuhan jahat
sama Dina kak?? Siapa yang akan nemenin Dina disini kak?? “
Aku terdiam. Rangkaian kata yang terucap dari mulut
mungil itu benar-benar tulus. Dia belum mengerti apa-apa. Pergi yang
dikatakannya itu, bukan arti sebenarnya.. Apa yang harus aku jawab?? Anak 6
tahun ini bicara padaku. Melontarkan apa yang dirasakannya. Aku hanya bisa
menjawab “Dina, Dina sabar ya. Dina harus belajar ikhlash. Tuhan nggak jahat
sama Dina. Tuhan Cuma pengen ngelatih Dina biar jadi anak yang kuat. Dina harus
ikhlash”
“Ikhlash itu apa kak??” tanyanya polos.
Aku tersentak. Aku baru ingat kalau aku sedang bicara dengan anak kelas 1
SD.
“Dina, ikhlash itu artinya, Dina merelakan mereka pergi. Dina tunggu aja
ya. Mereka pasti akan kembali dan ngajak Dina pergi juga”. ucapku.
“Iya kak. Tapi, ikhlash itu susah ya kak. Dina rasanya nggak bisa ikhlash”
jawabnya.
“Dina, kalo Dina mau belajar ikhlash, Dina harus minta bantuan Tuhan. Dina
harus banyak berdoa kepada Tuhan biar Dina bisa ikhlash ya! Biarpun pelan-pelan,
Kakak yakin Dina pasti bisa ikhlash”
“Iya kak. Dina janji. Dina pasti bisa ikhlash. Dina akan berdo’a sama
Tuhan. Kak, boleh nggak kalo Dina do’anya sekarang??”
“Boleh aja Din, emang kenapa??”
“Dina takut, nanti Tuhan marah. Karena Dina ngganggu perjalanan keluarga
Dina sama Tuhan”
“Sayang, Tuhan itu Maha apapun. Kamu jangan takut ya! Kalo kamu mau
berdo’a, kapanpun kamu bisa sayang”.
“Dina mau berdo’a kak. Biar Dina bisa ikhlash.
“Iya. Do’a aja Din!” ucapku.
“Tuhan, bantuin Dina biar Ikhlash ya! Tuhan, kapan keluarga Dina pulang?
Kalo mau pergi lagi, ajak Dina juga ya Tuhan! Dina nggak mau sendirian kayak
gini lagi!” ucap Dina.
“AMIN!!” ucapku.
Pembicaraan kami harus berakhir disini. Aku segera pulang
dan berpamitan kepada Dina. Bayang-bayang mereka masih benar-benar jelas
dipikiranku. Hati ku hanya bisa mengatakan “SELAMAT JALAN”
Karya : Wafa Zahara
Al-Adawiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar